Asahan,busernusantarasorottv.com-Di sebuah sudut kecil Kabupaten Asahan, tepatnya di Dusun 10 Aek Nauli, Desa Padang Mahondang, terdapat sebuah jalan yang seperti sengaja dibiarkan menua sendirian. Jalan itu menjadi saksi sejak tahun 1965—saat kampung masih sepi, rumah-rumah masih papan, dan suara anak-anak kecil bermain petak umpet menjadi musik sore hari.
Enam puluh tahun telah berlalu. Waktu sudah berubah, dunia sudah berubah, teknologi sudah melesat. Tetapi satu yang tetap sama: jalan Dusun 10 Aek Nauli masih berlubang, masih berlumpur, masih retak, masih menjadi nadi yang tak pernah mendapat perhatian.
Setiap pagi, deru sepeda motor para pelajar terdengar memecah sunyi. Bukan karena mereka ingin berangkat cepat, tapi karena mereka takut terperosok di lubang besar yang tersebar seperti perangkap.
“Kadang kalau hujan, kami turun mendorong motor. Baju sekolah basah, buku basah. Tapi mau bagaimana, ini satu-satunya jalan,” ujar Sari, pelajar kelas 11 yang hampir setiap minggu jatuh karena licin.
Seorang bapak tua, Pak Darman, yang sejak kecil tinggal di dusun itu, hanya tersenyum pahit ketika ditanya tentang jalan.
“Waktu saya SD, jalan ini begini. Sekarang cucu saya SD, ya begini juga. Mungkin jalan ini memang terlalu setia sama tanah liatnya sampai pemerintah tak tega mengaspal,” katanya sambil tertawa hambar.
Di warung kopi pinggir jalan, pembicaraan warga selalu sama:
“Apa pemerintah tidak pernah lihat jalan ini?
Apa mobil dinas tidak pernah lewat sini?
Apa laporan kami tidak pernah dibaca?”
Warga sudah sering mengusulkan pembangunan aspal hotmix. Bukan muluk-muluk—hanya sekitar 4 kilometer saja, jarak yang bagi pemerintah mungkin hanya satu catatan kecil, tapi bagi warga adalah 60 tahun penantian yang terasa seperti seumur hidup.
Di musim kemarau, debu dari jalan itu beterbangan, masuk ke rumah-rumah, menempel di wajah anak-anak, dan menempel di piring makan.
Di musim hujan, jalan berubah menjadi sungai coklat. Kadang kendaraan mogok, kadang roda terbenam sampai setengah lutut.
Satu kalimat sederhana sering terdengar dari mulut warga:
“Kami hanya ingin pemerintah melihat kami.”
Namun entah mengapa, jalan yang hanya sepanjang 4 km itu seperti tak pernah masuk dalam peta pembangunan. Seolah pemerintah Kabupaten Asahan lebih mudah melihat sesuatu yang jauh di luar sana, ketimbang memperhatikan satu jalan kecil yang setiap hari membawa puluhan pelajar, ibu-ibu ke pasar, petani ke ladang, dan warga ke puskesmas.
Komentar seorang pelajar paling membuat hati menjerit:
“Kami ingin sukses, Kak… tapi kadang jalan ini membuat kami merasa seperti tidak dianggap. Sekolah saja harus berjuang di medan tempur lumpur.”
Di akhir cerita ini, warga Dusun 10 Aek Nauli tidak meminta banyak:
Bukan lampu hias, bukan bangunan mewah, bukan janji-janji panjang.
Hanya aspal hotmix 4 kilometer—agar anak-anak bisa berangkat sekolah tanpa takut jatuh, ibu-ibu bisa belanja tanpa menunggu hujan reda, dan para petani bisa membawa hasil panennya tanpa harus mengangkat motor dari kubangan.
Jalan ini mungkin tidak pernah menangis. Tapi suara warga yang melewatinya setiap hari sudah menjadi tangisan yang paling lantang.
Semoga pemerintah Kabupaten Asahan akhirnya melihat bahwa ada satu jalan kecil yang telah menunggu terlalu lama untuk sekadar diperhatikan.(Lincuan Siregar)





