Cirebon,busernusantarasorottv.com-Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an dengan kemampuan dapat menyembuhkan, dan sekaligus untuk melindungi maupun memperbaiki kesehatan, tatkala kita jatuh menjadi mangsa ke dalam bahaya besar yang mengancam fisik, moral, dan kesehatan spiritual yang akan meliputi dunia di akhir zaman.
Allah telah menyatakan bahwa “tak seorang pun, kecuali yang bersih dan suci, bisa menyentuh Al-Qur’an”. Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa ilmu dalam Al-Qur’an tidak bisa ditembus kecuali oleh orang-orang dengan hati yang setia kepada Kebenaran.
_Syifa_ atau kesembuhan, yang sampai ke hati melalui pembacaan Al-Qur’an yang secara rutin berkesinambungan, mengembalikan hati itu kepada kesuciannya, sehingga memungkinkannya untuk mengkaji Al-Qur’an.
Para cendekiawan orientalis dari universitas-universitas barat seperti Oxford, Cambridge, Temple, Yale, Harvard, Colombia, Sorbonne, dll, yang dihiasi dengan Ph.D atau gelar-gelar doktoral dalam Studi Keislaman, yang merupakan para pembimbing disertasi doktoral dalam Islam, namun dengan cibiran mereka menolak perintah untuk mengaji Al-Qur’an disertai keimanan dan kemurnian dari hatinya, sekarang terlihat sebagai Sarjana yang keilmuan Al-Qur’annya demikian dangkal, sehingga mereka tidak bisa menyentuh ilmu yang ada dalam Al-Qur’an.
Inilah implikasi dari pernyataan Allah, bahwa hanya bagi mereka yang berhati bersih saja yang akan benar-benar bisa ‘menyentuh’ Al-Qur’an:
لَّا يَمَسُّهٗۤ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ
(QS. Al-Waqi’ah: 79).
Agar seseorang memenuhi syarat untuk dapat mengkaji Al-Qur’an, hatinya tidak saja harus beriman kepada Al-Qur’an sebagai Firman Allah SWT, tetapi dia juga harus tetap setia kepada Kebenaran. Orang yang tidak memiliki iman seperti ini di dalam hatinya, maka ia tidak akan memiliki Kebenaran.
Karena Al-Qur’an adalah Sumber Kebenaran, maka setia kepada Kebenaran berarti setia kepada Al-Qur’an. Tidak masalah bila terjadi perbedaan penafsiran atau pemahaman atas suatu Ayat, atau Hadits, tentang suatu subjek tertentu.
Yang jadi masalah adalah, jika tidak ada Ayat atau Hadits tertentu yang dijadikan rujukan Kebenaran, lalu merasa telah menemukan kebenaran.
Langkah pertama yang dibutuhkan seseorang untuk setia kepada Al-Qur’an adalah dengan senantiasa mengajinya. Terdapat ikatan yang tidak akan putus antara ‘ajian’ secara kontinyu dengan ‘kajian’ Al-Qur’an.
Ini adalah dampak yang jelas atau konsekwensi langsung dari Ayat yang menegaskan bahwa ‘penjelasan’ Al-Qur’an mengikuti ‘ajian’:
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰ نَهٗ
فَاِ ذَا قَرَأْنٰهُ فَا تَّبِعْ قُرْاٰ نَهٗ
ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا بَيَا نَهٗ
“Perhatikanlah, adalah bagi Kami untuk mengumpulkannya seraya membuatnya dibacakan (sebagaimana semestinya dibacakan). Maka ketika Kami membacakannya, engkau harus mengikuti cara pembacaan itu, kemudian bagi Kami pula kelak untuk menerangkannya.”
(QS. Al-Qiyamah: 17-19).
Implikasi selanjutnya dari pernyataan Al-Qur’an ini adalah, siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat 19 Surat Al-Qiyamah ini, yaitu pemahaman yang langsung diberikan oleh Allah SWT,
ثم ان علينا بيا نه،
“kemudian bagi Kami untuk menjelaskannya”, kecuali setelah membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an sebagaimana seharusnya Al-Qur’an itu dibacakan,
فاتبع قرءانه،
“…maka ikutilah cara pembacaan itu”, yaitu cara mengkhatamkan pembacaan Al-Qur’an seperti yang diajarkan Malaikat Jibril AS kepada Rasulullah SAW.
(Imran N. Hosein. _AL-QUR’AN DAN BULAN, Metodologi Ilahi dalam Mengkhatamkan Pembacaan Al-Qur’an di Setiap Bulan_. Alih Bahasa Abdurrahman Sumin. Eskatopedia, 2020: 3-10. Didistribusikan oleh Jejaring Pelajar Eskatologi Islam di Berbagai Daerah).
*Refleksi*
Tugas ulama atau ilmuan adalah mengajarkan Kebenaran. Bagaimana ia akan mengajarkan kebenaran jika ia sendiri tidak tahu atau ragu tentang kebenaran yang akan diajarkannya?
Hanya orang-orang yang setia kepada Kebenaran saja yang akan mengantarkannya kepada karakteristik ulama sejati, sebagaimana ditegaskan tentang definisi ulama atau ilmuan atau orang yang berilmu menurut Al-Qur’an, yaitu orang-orang yang takut kepada Allah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama…” (QS. Fathir: 28).
Setia kepada Kebenaran adalah prasyarat yang dibutuhkan untuk takut kepada-Nya. Orang yang setia kepada Kebenaran hanya lahir dari hati yang percaya bahwa Al-Qur’an adalah Sumber Kebenaran.
Orang berilmu tidak saja harus percaya kepada kebenaran, tapi juga harus bisa mengajarkan kebenaran tentang siapa yang harus ditakuti, mengapa IA harus ditakuti, dan apa implikasinya jika hanya Allah saja yang harus ia takuti?
Karena itu, menurut Al-Ghazali dalam Kitab _Ihya Ulumuddin_, tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kesempurnaan iman.
Dengan demikian, kriteria utama ketercapaian derajat orang yang berilmu adalah, apakah dengan ilmunya itu membuatnya semakin dekat kepada Allah atau sebaliknya semakin menjauh dari-Nya?
Dengan membaca dan mempraktikkannya secara bertahap, kita bisa berharap suatu saat Allah akan membukakan hati para pecinta-Nya untuk juga mencintai Al-Qur’an sebagai Firman-Nya. Tidak mungkin sampai pada derajat takut kepada Allah dan kemudian mencintai-Nya, sambil mengabaikan Al-Qur’an.
Bagi mereka yang profil keilmuannya dibentuk oleh epistemologi ‘mata satu’ sebagaimana dianut oleh peradaban barat modern, tidak akan pernah bisa mengerti pernyataan Al-Qur’an, bahwa hanya orang-orang berilmu yang takut kepada Allah.
Ini adalah contoh klaim kebenaran, bahwa definisi orang berilmu dalam Al-Qur’an adalah orang yang takut kepada Allah, yang tidak akan dipercaya kecuali oleh mereka yang beriman kepada Kitabullah ini sebagai Sumber Kebenaran Tertinggi.
الله اعلم
AR 12/01/24.